Tuesday, September 1, 2009
Jakarta - Pemerintah dan DPR sepakat mengamandemen Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Tujuannya, agar penanganan teror yang semakin kompleks dapat diselesaikan secara maksimal dan efektif. Peran intelijen juga akan diperkuat.
"Perlu kiranya diadakan perubahan atau menyempurnakan terhadap UU terorisme,“ kata ketua komisi satu Theo L Sambuaga saat membacakan kesimpulan rapat kerja dengan menteri politik hukum dan keamanan di gedung DPR RI Jakarta, Senin (31/08).
Rapat ini dihadiri oleh Menteri Koordinator Polhukam Widodo AS, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Djoko Santoso, d direktur Jenderal Multilateral deplu Rezlan Izhar Djenie dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar.
Widodo menyambut baik dukungan politik legislatif. Pemerintah segera mengajukan draf revisi.
"Optimalisasi pelibatan semua komponen bangsa sudah mendesak," kata Widodo. Fokusnya, penguatan peran intelijen dan Kepolisian RI (Polri). "Tanpa mengabaikan partisipasi masyarakat."
Widodo mengatakan, penyempurnaan mesti dilakukan mengingat orientasi utama pembentukan UU hanya memberikan payung hukum pemberantasan teror sebagai respon bom Bali I. Kala itu titik beratnya lebih pada penindakan. Padahal pencegahan juga harus dipayungi.
Dia menyoroti pentingnya peran intelijen untuk deteksi dini. Selama ini Badan Intelijen Negara (BIN) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah mendukung Polri untuk menguatkan operasi intelijen. Namun, belum ada ruang gerak yang cukup. "Mau melangkah dimarahin orang," katanya.
Kepala Desk Anti Teror Polhukam, Ansyaad Mbai menjelaskan, intelijen masih terpasung.
Salah satunya, pasal 26 UU Pemberantasan Terorisme menyatakan laporan intelijen hanya dapat digunakan sebagai bukti permulaan.
Kementerian Polhukam mengusulkan masa penahanan minimal dua tahun, seperti di Malaysia dan Singapura."Negara sekeliling punya hukum kuat. Masa Indonesia lembek," kata dia.
Komisi I memandang perlu menguatan aspek preventif. Khususnya pelibatan masyarakat secara optimal sesuai ketentuan hukum. Pemerintah diminta mengajakn masyarakat turut mencegah berkembangn ajaran sesat yang mengembangkan radikalisme.
Komisi I juga memandang perlu diterbitkan berbagai regulasi guna kemudahan pelaksanaan di lapangan. Salah satunya, keputusan politik terkait perbantuan TNI pada Polri. Dalam rapat tersebut, sejumlah anggota Komisi I mendesakdibuat aturan penjabaran pelibatan TNI untuk membantu penanganan terorisme.
Effendy Choirie dari Partai Kebangkutan Bangsa menilai, secara norma, payung hukum pelibatan TNI sudah diwadahi Undang-undang Pemberantasan Terorisme dan Undang-undang TNI. Hanya saja penjelasannya belum rinci. "Kondisi ini membuat militer gamang," katanya.
Source
Labels: Hukum dan Kriminal, News, Sosial Politik
0 comments:
Post a Comment