Thursday, November 8, 2007
"Mereka sudah membuat resah, maka tindakan tegas perlu diterapkan."
"Dinas Pendidikan akan memberikan peringatan keras kepada kepala sekolah agar menindak siswanya yang terlibat geng motor."
"Kepala sekolah siap memberikan tindakan tegas kalau perlu mengeluarkan siswa yang terlibat geng motor."
Kalimat-kalimat di atas walaupun tidak sama persis, namun menggambarkan bagaimana para orang dewasa dan orang-orang tua yang sedang berkuasa berusaha menunjukkan "perhatian"-nya pada peristiwa yang dilakukan remaja-remaja yang terlibat tindakan melawan hukum: mulai membuat onar, keributan, penganiayaan, hingga pembunuhan.
Kesimpulannya, tampaknya para orang tua sangat serius memerhatikan akibat dari perbuatan remaja yang merugikan orang lain dan berniat untuk menghentikannya dengan segala cara dan alat: polisi, dinas pendidikan, kepala sekolah, media, dan lain-lain.
Rockdale Country
Dalam buku Meraih Kebahagiaan, Dr. Jalaluddin Rakhmat menggambarkan sebuah kota bernama Rockdale Country di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat. Kota itu kecil, namun merupakan kota yang paling makmur di Georgia. Penghuninya kebanyakan bulai, Kaukasian, dari kelas menengah ke atas. Untuk membayangkan kemakmuran Rockdale Country, bayangkanlah keindahan kompleks perumahan paling mewah di Indonesia (Pondok Indah, Puri Cikeas, Setra Duta, Kota baru Parahyangan?).
Di perumahan itu jalannya lebar-lebar, rumputnya hijau terhampar, air tak pernah kurang, satpam berjaga 24 jam. Mobil bagus dan baru biasanya mengisi garasinya lebih dari satu. Ada sekolah dengan kualitas terbaik dan sarana terlengkap. Udaranya segar. Biasanya yang tinggal di sana pun orang-orangnya tampan dan cantik. Harum pula!
Gandakan keindahan kompleks yang Anda lihat itu lima kali lipat dan itulah gambaran Rockdale Country!
Pada bulan Mei 1999 Atlanta sedang bersolek mempersiapkan diri untuk menyambut olimpiade. Pada suatu hari ditemukan seorang anak usia 16 tahun mati terkapar dalam sebuah perkelahian di tempat parkir sebuah mal. Lalu pada 20 Mei 1999 seorang anak remaja menembaki anak-anak sekolah Heritage High School dengan senapan mesin. Beberapa orang korban jatuh.
Dalam penelitian petugas kesehatan ditemukan kemudian bahwa 17 orang remaja di situ, usia 14 -17, positif menderita sifilis dan 200 remaja lainnya menderita penyakit kelamin yang menular, sexually transmitted diseases (STD). Sebagian penderita STD itu berasal dari The Heritege High School. Wabah sifilis itu kemudian menguak dengan adanya grup seks, pesta minuman keras, dan narkoba.
Apa yang ditemukan itu kemudian disiarkan oleh public broadcasting dengan pembahasan dari para pakar. Rachel Dretzin Goodman, produser serial tentang “Lost Children of Rockdale Country” berkata, “Kami melihat wabah sifilis ini sebagai sejenis metafora tentang penyakit yang lebih mendalam, yang menggerogoti remaja dewasa ini. Ke mana pun kami pergi, kami melihat anak-anak yang terapung-apung, lapar untuk mengisi kekosongan (jiwa) karena begitu banyak waktu luang dan begitu sedikit struktur hidup mereka?”
Penderitaan remaja itu terjadi di tengah gelimang harta dan kemajuan ekonomi warga kota itu. Seorang guru di kota itu berkata, “Anak-anak merindukan perhatian. Hal yang paling buruk bagi mereka adalah tidak adanya perhatian pada mereka sama sekali, hilangnya perhatian membuat hidup mereka kesepian?”
Michael Rosnick, Profesor Sosiologi dan Pediatric pada Universitas Minnesotta menyimpulkan apa yang terjadi di Rockdale Country, “Di kota ini tidak jelas siapa yang tersesat, anak-anak atau orang tua mereka? Kami mendengar banyaknya kehampaan. Rumah-rumah hampa dari pengawasan, hampa dari kehadiran orang dewasa, hampa dari pengamatan.”
Pada banyak sekali remaja ada kehampaan tujuan, ada perasaan mereka tidak dibutuhkan, tidak bersambung dengan orang dewasa, dengan tugas, dengan apa saja yang bermakna selain pencarian yang sia-sia untuk memperoleh kesenangan.
Uraian Jalaluddin Rakhmat di buku Meraih Kebahagiaan ini memang menggambarkan bagaimana kesuksesan material tidak menjadi jaminan kebahagiaan. Paradoks yang terjadi di Amerika, untuk menggambarkan kontradiksi antara kekayaan dan tiadanya kebahagiaan digambarkan dengan istilah “The American paradox: spiritual hunger in the age of plenty” (kelaparan spiritual di masa kemakmuran).
Belajar dari Rockdale Country, sudahkah kita melakukan telaah secara mendalam terhadap berbagai kasus yang melibatkan remaja di Jawa Barat atau, khususnya, di Bandung? Berapa banyak guru besar psikologi, guru besar paedagogik, guru besar sosiologi yang ada di Jawa Barat? Sudahkah beliau-beliau diminta meneliti secara mendalam fenomena geng motor secara jernih dan ilmiah agar dapat dikumpulkan data yang sahih. Data yang dapat dijadikan rujukan untuk melakukan suatu tindakan dan upaya-upaya pencegahan munculnya perilaku kriminal atau perilaku yang membahayakan masa depan anak-anak itu sendiri ?
Kasus di Rockdale Country terjadi di tengah masyarakat yang kehidupan duniawinya mapan. Bagaimana jika terjadi di negara miskin seperti Indonesia? Apakah penyebabnya sama? Apakah orang-orang tua anak-anak geng motor itu juga kaya raya? Atau malah mereka termasuk yang ada dalam kelompok yang kesulitan menghadapi situasi ekonomi, sosial, budaya saat ini?
Agak gegabah jika kita hanya melihat secara sepintas, atau hanya melihat fenomena geng motor dari sisi keamanan dan hukum. Bagaimana jika semakin ditindak mereka malah semakin keras dan marak, seperti paku di kayu, semakin dipukul, semakin kokoh tertancap!
Inkonsistensi Orang Dewasa
Salah satu penyebab anak menjadi “nakal” atau tidak taat aturan adalah karena orang tua yang tidak konsisten, terutama dalam menerapkan aturan yang ditujukan bagi anak-anak. Adakah inkonsistensi yang dapat ditemukan anak-anak remaja di tengah masyarakat? Beberapa hal berikut dapat kita renungkan bersama.
Pertama, seorang remaja putri kelas 3 SMP di Bandung ditelefon oleh seorang teman sekelasnya yang terkena tilang karena tidak membawa SIM untuk motor yang dikemudikannya. “Cepetenlah ke sini, aku pinjem uang kas kelas, aku lupa bawa uang euy,” katanya dengan enteng. Rupanya remaja itu sudah terbiasa terkena tilang karena belum punya SIM. Namun biasanya dia sudah siap dengan uang untuk membayar kesalahannya dan dia dapat berlalu tanpa ditahan.
Kedua, seorang remaja kelas 1 SMA ditanya oleh teman-temannya kenapa belum pakai motor ke sekolah? Dia menjawab belum punya SIM takut ditilang. Temannya berkata, “Gampang aja. Yang penting di STNK motor diselipkan selalu uang. Jadi kalau ada tilang tetap lolos da uangnya nanti diambil. Kitanya mah disuruh terus, paling disuruh hati-hati ama polisinya.”
Ketiga, seorang anak SMP bercerita pada ayahnya bahwa di semester dua dia bertemu dengan temannya satu SD yang ketika awal tahun tidak diterima karena nilainya kurang. Ketika ditanyakan bagaimana dia bisa masuk, padahal nilainya kurang, temannya berkata sambil tertawa-tawa, “Ortu gua bayar aja ke sekolah.”
Keempat, seorang pejabat di sebuah BUMN bingung karena dia pindah ke Bandung pada bulan Agustus. Dia bingung untuk mengurus anak semata wayangnya yang kelas 1 SMA. Menurut informasi resmi, pindah di tengah semester tidak dimungkinkan oleh aturan. Koneksinya sampai ke tingkat pejabat dinas pendidikan pun tidak mampu mengubah aturan.
“Nanti saja putranya pindah di akhir/awal semester, saya akan bantu,” kata seorang pejabat berwenang. Dia hampir putus asa dan marah ketika disarankan datang saja langsung dengan membawa surat pindah dan rapor/keterangan sekolah anaknya, dengan anaknya sekalian. Ajaib, hari pertama dia datang langsung diterima dan anaknya bisa langsung sekolah. Ketika ditanya bagaimana itu bisa terjadi, istri pejabat itu hanya senyum-senyum dan berkata, “Yah, kemarin salah minta tolong. Yang dimintain tolong orang yang biasa bicara aturan dan membuat segan. Jadi ya nggak bisa ada solusi.” Solusinya, kata dia lagi, dalam tanda kutip.
Kelima, para pejabat berkata tentang kurangnya anggaran hingga amanat UUD agar anggaran pendidikan dialokasikan sebesar 20% APBD/APBN belum dapat direalisasikan. Pada saat yang sama, anak-anak membaca di koran berita renovasi halaman gedung pemerintah. Asalnya aspal hotmix yang licin diganti batu granit yang elegan, agar matching dengan arsitektur gedung. Kata matching ini sebenarnya bisa dihindari, tetapi sengaja dipilih untuk menunjukkan inkonsistensi orang dewasa, termasuk penulis, dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar !
Keenam, wakil presiden memarahi guru yang dalam puisinya menggambarkan kelas belajar seperti kandang ayam. Pada saat yang sama, anak-anak membaca sekolah roboh. Ketika anak-anak di sebuah SD di Tasikmalaya dua tahun sekolah ngampar karena anggaran 15 juta untuk membeli mebel tidak ada (“PR”, 1 November 2007), anak-anak membaca bahwa anggaran untuk membeli mobil dinas jumlahnya miliaran rupiah. Kok ada!
Ketujuh, para pejabat bicara tentang kepedulian pada orang kecil, pada pedagang kecil, pada ekonomi kerakyatan. Pada saat yang sama anak-anak kita menyaksikan mal-mal megah berdiri dan mematikan warung-warung dan pasar tradisional. Bukankahmendirikan mal harus mendapat izin?
Kedelapan, pedagang kaki lima digusur dan dikejar-kejar seperti maling. Pada saat yang lain kita melihat mereka dapat berdagang dengan tenang di titik yang dilarang. Satu ketika kita diimbau menyalakan lampu motor di siang hari. Pada saat yang sama anak-anak remaja menyaksikan tidak ada tindakan kepada yang tidak menyalakan lampu motor, beberapa bulan setelah imbauan itu diberikan.
Dari sudut pandang ini saja, tampaknya kita sulit untuk meminta agar anak-anak tidak nakal. Karena inkonsistensi orang dewasa dalam banyak bidang kehidupan dilihat secara telanjang dan dialami oleh anak-anak. Masihkah aparat yang ditugaskan memiliki moral obligation untuk bertindak, sementara di lain waktu mereka tampil penuh cacat di mata anak-anak?
Belum lagi jika kita bertanya tentang ruang berekspresi bagi remaja. Lapang berubah jadi mal atau hotel. Setiap jengkal ruang dihitung secara rupiah jika kita hendak menggunakannya. Ke mana lintasan Go Kart peti sabun yang gratisan? Ke mana tempat belajar musik yang difasilitasi pemerintah dan anak-anak yang tidak perlu bayar seperti dahulu ada di tiap karang taruna atau tiap wilayah kota? Ke mana lintasan balap motor resmi yang menjunjung jiwa sportivitas dan memacu keterampilan? Kota kita menjadi asing dan mahal bagi remaja.
Seberapa besar perhatian dan langkah telah kita lakukan untuk sekadar menyapa remaja dan memenuhi jiwa mereka dengan sebuah keyakinan bahwa mereka tidak sendiri menjalani hidup di zaman yang begini keras dan berat!
Jika belum banyak yang kita lakukan sebelum mengambil tindakan hukum dan kekerasan, apalagi tembak di tempat, sebaiknya kita cium kening anak kita masing-masing dan meminta agar mereka memaafkan kita jika selama ini kita terlalu sibuk dengan urusan kita dan lalai kepada mereka, permata hati titipan ilahi yang diamanatkan pada kita.
Semoga dengan pendekatan empatik dan penuh cinta, kita dapat menemukan akar persoalan yang sesungguhnya dan memberikan jawaban yang tepat sehingga kita menemukan kembali anak-anak kita di rumah, bukan di jalanan.
Penulis,BUDI PRAYITNO, aktivis dakwah dan konsultan keluarga. Pengasuh acara jendela keluarga di radio MQ FM, tinggal di Bandung.
Source
Silahkan Beri Komentar Anda Mengenai Berita/Artikel Ini.
Labels: Opini, Sosial Politik
0 comments:
Post a Comment