Tuesday, November 6, 2007
JAKARTA - Mantan Men BUMN Laksamana Sukardi melawan setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus penjualan tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) milik Pertamina. Pria yang akrab disapa Laks itu merasa menjadi tumbal di balik kepentingan politis dalam penanganan kasus tersebut.
Karena itu, dia berencana menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengadukan kejaksaan. Menurut Laks, institusi yang saat ini dipimpin Hendarman Supandji itu dianggap sudah diperalat untuk kepentingan politis menghantam partai yang dipimpinnya: Partai Demokrasi Pembaruan (PDP).
"Saya akan mendatangi presiden. Dalam kasus ini, yang dirugikan adalah citra SBY, karena kejaksaan menggunakan kekuasaan hukum untuk permainan politis," tegas Laks dalam jumpa pers di kantor pusat PDP kemarin.
Laks didampingi mayoritas pimpinan kolektif nasional (PKN) PDP. Di antaranya, Roy B.B. Janis, Didi Supriyanto, Noviantika Nasution, Sukowaluyo Mintorahardjo, dan Abdul Khaliq Ahmad. Dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) terlihat Petrus Selestinus, R.O. Tambunan, dan Sigit Binaji.
Di tempat sama, R.O. Tambunan menambahkan, pengurus PDP dan TPDI hari ini dijadwalkan juga menemui Jaksa Agung Hendarman Supandji. Mereka bakal menanyakan sejumlah permasalahan terkait pemeriksaan Laks pada Kamis mendatang (8/11).
Menurut Laks, suasana politis terungkap ketika kejaksaan banyak mengakomodasi hasil kerja Panitia Khusus (Pansus) DPR dalam kasus tanker. Pansus sendiri dikendalikan kelompok politik tertentu yang menjadi rival PDP. "Mereka, politisi itu, ingin menjaring saya, apalagi saya sudah tidak menjabat lagi, tidak memiliki partai, dan tidak memiliki wakil di DPR," jelas mantan Men BUMN di era Megawati ini.
Selain kepentingan politis, Laks merasa dikerjai "calo-calo" yang menawarkan perdamaian dalam kasus tanker. Laks menuturkan, semasa menjabat komisaris utama (komut) Pertamina, pernah didatangi oknum yang mengklaim utusan DPR. "Dia ingin bertemu saya, lantas saya perintahkan direktur keuangan yang menemui," kata Laks. Oknum itu menolak dan ngotot ingin menemuinya. Laks lantas menemui dan oknum itu terang-terangan minta duit meski belakangan tidak ditanggapi.
Menurut Laks, oknum tersebut menyodorkan dua draf hasil pansus yang berbeda kesimpulannya. "Satu draf tidak menyebut keterlibatan kami, dan yang satunya lagi menyebut keterlibatan," jelas Laks. Dia menegaskan, salah satu draf itu masih disimpannya sebagai bukti ada tawaran perdamaian.
Meski banyak ketidakberesan, Laks merasa beruntung berada di tengah-tengah pengurus PDP. Mereka menyemangati agar terus berjuang. "Mereka percaya bahwa saya tidak bersalah dan tidak menikmati sepeser pun kasus itu," ujar Laks, bangga.
Laks menegaskan, penetapan dirinya sebagai tersangka merupakan langkah prematur. Sebab, penjualan tanker merupakan kebijakan perseroan dan kolegial tujuh komisaris. "Ini tindakan korporasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana," jelas Laks. Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menemukan kerugian negara dan perbuatan melawan hukum.
Laks juga membeber kejanggalan lain. Di antaranya, banyak saksi yang belum didengar keterangannya, seperti mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. "Mereka tahu kasus ini, lantas mengapa tidak ikut diperiksa?" ujar Laks.
Wartawan koran ini berupaya menghubungi JAM Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya Rahman untuk menanyakan sejumlah tuduhan Laks. Tapi, telepon genggam yang bersangkutan tidak diangkat.
Di tempat sama, PDP menyokong sikap Laks. Sekretaris PKN PDP Didi Supriyanto mengatakan, Laks benar-benar sedang dizalimi.
Secara terpisah, rencana Laks menemui SBY tampaknya menemui jalan buntu. Tidak cukup alasan bagi politikus PDP itu untuk bisa bertemu SBY. Apalagi jika Laks mengaitkan persoalan hukum dengan persoalan politik.
Juru Bicara Kepresidenan Andi Alfian Mallarangeng mengatakan, presiden tidak ingin terlalu jauh mencampuri urusan hukum. Semuanya dipercayakan kepada kepolisian dan kejaksaan. "Bagi presiden, persoalan hukum dan politik jangan dicampuradukkan," kata Andi saat dihubungi kemarin.
Menurut Andi, persoalan hukum harus diselesaikan dengan cara hukum. Yakni, melalui proses di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Sedangkan persoalan politik juga ada jalur tersendiri. Penyelesaiannya harus secara politik. Sehingga persoalan hukum tidak mungkin diselesaikan secara politik. Begitu juga sebaliknya.
Beberapa kali Andi juga menegaskan bahwa komitmen presiden dalam penegakan hukum sudah cukup jelas. Tidak ada tebang pilih seperti yang dituduhkan sebagian kalangan. Menurut Andi, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi menjadi prioritas pemerintahan SBY-Kalla.
Source
Silahkan Beri Komentar Anda Mengenai Berita/Artikel Ini.
Labels: Hukum dan Kriminal, News, Sosial Politik
0 comments:
Post a Comment