Tuesday, November 6, 2007
Sejumlah aktivis Pakistan menatap keluar dari mobil polisi setelah mereka ditangkap di Multan, Pakistan, Minggu (4/11). Polisi yang menyandang senapan laras panjang mengepung ratusan pemimpin oposisi dan aktivis, Minggu, setelah penguasa militer Pakistan, Jenderal Pervez Musharraf, membekukan konstitusi, memecat Ketua Mahkamah Agung, dan mengerahkan tentara untuk memerangi apa yang disebut sebagai meningkatnya ekstremisme Islam.
[YERUSALEM] Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Condoleezza Rice akan mengkaji kembali bantuan negaranya kepada Pakistan, menyusul pemberlakuan status darurat oleh Presiden Pakistan Jenderal Pervez Musharraf.
AS telah menyuplai bantuan sekitar US$ 11 miliar ke Pakistan sejak 2001, ketika Musharraf memutuskan bersekutu dengan Washington setelah Tragedi 11 September 2001.
AS, kata Rice, kecewa atas tindakan Musharraf memberlakukan status darurat. Namun, ia mengisyaratkan tidak akan menangguhkan bantuannya ke Pakistan secara keseluruhan. Penangguhan bantuan tampaknya hanya akan diberlakukan pada segelintir dari total bantuan AS ke Pakistan, yang diperkirakan mencapai US$ 150 juta tiap bulannya. "Sejumlah bantuan ke Pakistan terkait dengan misi kontraterorisme," tandas Rice, Minggu (4/11).
Rice mengutuk tindakan-tindakan Musharraf yang "tidak konstitusional" tersebut. "Saya kecewa dengan keputusan Presiden Musharraf," kata Rice.
Center for Strategic and International Studies melaporkan pada bulan Agustus, bahwa hanya kurang dari sepuluh persen total bantuan AS sejak 2001 yang telah dialirkan ke proyek sosial dan ekonomi. Rice, dalam komentarnya kemarin, juga membantah bahwa pemerintahan Presiden AS George W Bush telah menanamkan "seluruh chip-nya" pada Jenderal Pervez Musharraf.
Rice mengatakan, AS telah membuat pilihan untuk mendukung apa yang dinilai sebagai bangsa yang secara bertahap menjadi demokratis di saat yang kritis. "AS tidak meletakkan seluruh chip-nya pada Musharraf," kata Rice.
Bantahan Rice disampaikan menyikapi pernyataan Senator Joe Biden dari Partai Demokrat yang mengatakan, tangan-tangan AS "telah terbelenggu" karena pemerintahan Bush memiliki "kebijakan Musharraf" dan bukan "kebijakan Pakistan".
Presiden George W Bush sendiri sama sekali tidak merespons berbagai kritik yang dilontarkan tentang Musharraf. "Kami terus terang tidak akan melakukan apa pun yang akan merusak perang melawan teror," kata Johndroe.
Sementara anggota parlemen dari Partai Republik, Arlen Specter, mendesak Bush yang sejauh ini berdiam diri soal Pakistan agar dapat berbicara secara lebih lantang mengkritisi pemerintahan Musharraf. Ia berpendapat, pergeseran Pakistan dari kepemimpinan sipil dan demokratis dapat membahayakan dukungan militer AS.
Inggris
Inggris mengungkapkan keprihatinan mendalam mereka atas "tindakan tidak konstitusional" yang dilakukan Musharraf. Inggris berpendapat, masa depan Pakistan bergantung pada bagaimana negara itu menjamin penegakan hukum. Baik Menlu Inggris David Miliband maupun Persemakmuran, yakni kelompok beranggotakan 53 negara terdiri dari Inggris serta seluruh bekas jajahannya, mendesak agar pemilu parlementer tetap digelar bulan Januari sebagaimana telah dijadualkan.
Dari Islamabad dilaporkan, ratusan demonstran di Pakistan meneriaki polisi dengan kata-kata "Tidak Tahu Malu!" ketika polisi berupaya membubarkan aksi unjuk rasa yang berlangsung serentak di seantero Pakistan. Massa memprotes pemberlakuan status negara dalam keadaan darurat.
Pemerintah Pakistan menyebutkan, pemilu parlementer dapat ditangguhkan lebih dari satu tahun. PM Pakistan Shaukat Aziz mengatakan lebih dari 500 orang yakni oposisi, aktivis dan pengacara ditangkap di seantero Pakistan dalam 24 jam terakhir.
Source
Silahkan Beri Komentar Anda Mengenai Berita/Artikel Ini.
Labels: News, Sosial Politik
0 comments:
Post a Comment