Referensi

Jasa Web Design

Friday, November 9, 2007

'American Dream' dan 'Brain Drain'

Amerika Serikat (AS) adalah negeri impian. Begitulah kira-kira pesan yang tersirat melalui film-film Hollywood. Meski tidak jelas mengejar apa, ribuan orang berduyun-duyun datang ke AS karena mempercayai slogan tersebut. Bahkan, tercatat rata-rata sejuta imigran baru memasuki AS tiap tahun sejak 1976.

Cerita kehebatan bangsa Amerika terabadikan dalam benak bangsa-bangsa lain yang masih mencari-cari posisi di tengah gegap gempita kompetisi global. Film-film Hollywood selama ini menjadi alat penjaga keberlangsungan hegemoni kisah American dream. Film-film tersebut dipenuhi cerita keberhasilan para proletar menjadi saudagar dan kaum melarat menjadi pejabat. Itulah impian yang ditawarkan AS kepada dunia.

Tidak salah bila saat ini brain drain begitu kuat menerpa berbagai negara Dunia Ketiga. Brain drain adalah gelombang perpindahan besar-besaran kaum intelektual dari suatu negara ke negara lain, sehingga negara yang ditinggalkan mengalami kemiskinan intelektual.

Negara besar seperti AS tentu menjadi tujuan perpindahan mereka sejalan dengan slogan American dream yang ter-blow up selama ini. Gaji besar, dana penelitian melimpah, laboratorium beserta buku-buku referensi yang lengkap, serta birokrasi yang efisien merupakan iming-iming yang luar biasa bagi para pencari mimpi yang notabene adalah kaum intelektual tersebut.

Secara kasar, mereka disodori dua pilihan: idealis-nasionalis atau rasional-pragmatis. Mempertahankan nasionalisme dalam kemelaratan atau berpikir realistis dan mencari penghidupan yang layak. Begitulah kira-kira dilemanya. Dari situlah brain drain bermula yang kemudian menyebar bagai virus di hampir seluruh negara Dunia Ketiga.

Sebagian pihak menuduh mereka tidak nasionalis. Atau, lebih buruk lagi, sebagai pengkhianat bangsa. Kisah tersebut menegaskan kembali makna keprihatinan yang pernah terlontar dari mulut John Fitzgerald Kennedy: Don’t ask what country can give you, but ask what you can do for your country!

Hiruk-pikuk berita pemanasan global, kemiskinan di negara-negara berkembang, senjata nuklir dan pemusnah masal, atau krisis kenaikan harga minyak dunia menjauhkan kita dari ide-ide nasionalisme karena dianggap terlalu sempit, sehingga ketinggalan zaman. Nasionalisme kini semakin tertantang eksistensinya oleh arus budaya global yang membawa paham internasionalisme.

Ekses Media
Baru-baru ini, diadakan sarasehan para jurnalis di Jakarta Media Center bertajuk Ekayasta Unmada atau semangat satu bangsa (Kompas 26/10/2007). Dalam forum tersebut, terungkap bahwa fakta-fakta yang diekspos di media nasional, juga lokal, justru berimplikasi merusak citra Indonesia di mata internasional.

Hal itu terjadi di luar sengaja sebagai ekses jiwa idealistis para jurnalis yang menganut asas bahwa masyarakat berhak atas informasi yang benar dan selengkap-lengkapnya. Yang berkembang kemudian, masyarakat internasional (dan bangsa kita sendiri) melihat Indonesia seolah menjadi negeri tanpa harapan.

Pertikaian elite politik, instabilitas ekonomi, kerusuhan sosial -baik vertikal maupun horizontal-, serta carut-marut dunia pendidikan semua secara perlahan menghancurkan rasa kebanggaan dan kepercayaan diri bangsa kita. Akhirnya, tidak mengherankan bila brain drain ikut menghantam akibat lunturnya nasionalisme kita.

Sebuah anekdot kritis dimunculkan dalam forum tersebut bahwa pada 2025, Tiongkok menjadi penguasa software, India penguasa hardware, sedangkan Indonesia no where.

Fondasi kebesaran AS
AS yang kini menjadi negara superpower sebenarnya tidak murni dibangun oleh bangsa asli penghuninya. Meski sering terdengar pembatasan arus emigrasi di AS, kenyataannya, AS jauh lebih terbuka dalam menyambut para imigran dibandingkan Eropa. Aturan-aturan yang berlaku hanyalah membatasi para imigran yang minim skill dan brain. Derasnya arus imigran tersebut menjadi salah satu dasar pengisian ulang gudang bakat bagi AS.

Dalam buku terbarunya, Mind Set, John Naisbitt menyatakan bahwa bukan kebetulan bila lebih dari 300 peraih nobel sains berasal dari AS, sedangkan Jepang hanya memiliki empat orang. Secara implisit, Naisbitt ingin mengungkapkan bahwa faktor brain drain negara lain yang kemudian mengisi stock intelektual AS adalah penyebab fakta tersebut.

Dalam perbandingan dengan Eropa, sebelum Perang Dunia II, peraih Nobel Sains dari Eropa berjumlah 109 orang, berbanding dengan 13 orang dari AS. Namun, sejak 1969, kondisinya berbalik: Eropa menerima 90, sedangkan AS meraih 171. Hal itu menandai pergeseran besar dalam kepemimpinan ilmiah global.

Di satu sisi, imigran berkualitas merugikan karena mengambil kesempatan kerja warga negara asli. Pemikiran itulah yang melandasi kebijakan berbagai negara Eropa. Sementara AS lebih condong melihat segi keuntungannya, yaitu terisinya talenta-talenta baru yang berstatus warga negara AS. Talenta-talenta baru tersebut akan memperkaya khazanah intelektual AS.

Buktinya, AS lebih cerdik dalam menyikapi permasalahan tersebut, sehingga posisi superpower terus tersemat pada mereka.

Penulis,Taufieq Ridlo Makhmud, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya


Source

Silahkan Beri Komentar Anda Mengenai Berita/Artikel Ini.


0 comments:

 

Power by Grandparagon @ 2007 - 2008 Beritadotcom.blogspot.com