Thursday, March 6, 2008
Jakarta:Kebijakan pemerintah menangguhkan pajak pertambahan nilai minyak goreng sejak 1 Februari dinilai gagal menahan kenaikan harga minyak goreng. Pemerintah diminta transparan terkait kebijakan fiskal tersebut.
Peneliti dari Center for Strategic International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi menyatakan, kebijakan fiskal pemerintah tidak akan mampu menahan harga minyak goreng. "Harga internasional itu di luar kewenangan (mekanisme pasar). Sudah pasti gagal," katanya, Selasa (4/3).
Menurut Pande, kebijakan pemerintah seharusnya lebih tegas. "Jika tujuannya untuk menahan harga di dalam negeri dengan harga tertentu harus dengan cara menerapkan kuota ekspor," ujaranya. Caranya, produsen baru boleh ekspor sekian banyak kalau sudah ada bukti menjual pasokan di dalam negeri sesuai kebutuhan. "Kebutuhan minyak goreng di dalam negeri hanya 15-20 persen saja dari produksi."
Laporan Pemantauan Harga dan Distribusi Barang Kebutuhan Pokok menyebutkan harga minyak goreng rata-rata nasional masih tinggi. Pada hari Senin (3/3), minyak goreng curah per Rp 11.948, sedangkan harga minyak goreng kemasan per 620 mililiter dijual Rp 8.555. Padahal awal bulan lalu harga minyak goreng curah Rp 10.474 per kilogram dan harga minyak goreng kemasan Rp 8.265 per mililiter.
Sebelumnya Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengklaim penanggungan pajak pertambahan nilai (PPN) minyak goreng sejak awal bulan efektif menahan laju harga di dalam negeri. "Kalau tidak ada itu (penanggungan PPN), kemungkinan besar naiknya (harga minyak goreng) bisa lebih tinggi lagi," ujarnya.
Ekonom Hendri Saparini menyatakan, pemerintah seharusnya memberikan sanksi kepada produsen minyak goreng karena tak mampu menurunkan harga minyak goreng di pasar pasca penanggungan pajak pertambahan nilai sejak 1 Februari. "Jika tidak ada sanksi menunjukkan kredibilitas pemerintah yang rendah dan tak mampu memaksa produsen menurunkan harga," ujarnya kepada Tempo, Selasa (4/3).
Sanksi yang diberikan kepada produsen, kata dia, bisa dengan pencabutan kemudahan fiskal, pemberian disinsentif kredit dan impor bahan baku, serta memasukkan produsen dalam daftar pengusaha bermasalah sebagai sanksi sosial.
Menurut Hendri, pemerintah dinilai tidak transparan tentang kondisi suplai dan permintaan minyak goreng dalam negeri. Lonjakan harga minyak goreng, kata dia, akibat kurangnya pasokan minyak sawit mentah (CPO) di dalam negeri. "Indikator harga sudah cukup menunjukkan bahwa produsen tidak berkomitmen jaga pasokan di dalam negeri," kataya.
Pengamat ekonomi pertanian Fadhil Hasan menyatakan hal yang sama. Dia menilai, kebijakan fiskal tidak akan efektif menstabilkan harga minyak goreng. Apalagi jika harga CPO tetap membumbung. "Kalau mau pakai pungutan ekspor untuk tahan ekspor hanya efektif signifikan pada kisaran 40-60 persen," katanya. Cara itu juga tak mungkin dilakukan karena memberatkan industri.
Ketua Umum Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia Adiwisoko Kasman mengatakan, kenaikan harga minyak goreng dalam negeri memang tidak bisa dibendung karena harga CPO internasional yang terus naik. "Harga minyak goreng dari pabrik sudah Rp 12.000 per kilogram, padahal pabrik dapat bahan baku CPO sudah di atas Rp 11.600 per kilogram," katanya.
Source
Labels: Bisnis dan Ekonomi, News

0 comments:
Post a Comment