Thursday, January 31, 2008
Karanganyar: Sebagai buruh pabrik plastik, Parno, 40 tahun, tak pernah membayangkan bisa bertemu seorang menteri. Jangankan berdekatan, melihat langsung pun rasanya tak mungkin. Tapi Senin (28/1) kemarin, seorang menteri nemplok di sadel sepeda motor bututnya.
Kemacetan luar biasa di pertigaan Matesih, empat kilometer dari Astana Giribangun membuat mobil rombongan para menteri yang hendak melayat Soeharto tak bisa bergerak. Padahal, rombongan jenazah mantan presiden sudah bergerak dari Bandara Adi Soemarmo Solo. Tak ingin terlambat, sejumlah menteri pun loncat dari mobil.
Parno yang sedianya hanya ingin melihat-lihat suasana pemakaman Soeharto, kena sampur rejeki. Seorang polisi memanggi dan meminta dia mengantar ibu menteri. "Saya tidak tahu namanya. Orangnya putih. Perempuan. Pak Polisi yang bilang dia menteri dan waktu di jalan, ibu itu bilang kalau nanti dicegat, agar saya mengatakan mau mengantar Bu Menteri," kata Parno.
Selembar uang lima puluhan ribu pun dikeluarkan ibu menteri ini dari dompetnya. Sang menteri memintanya agar dia menunggu sampai acara pemakaman selesai. TEMPO menyaksikan Menteri Dalam Negeri Mardianto, juru bicara kepresidenan Andi Malarangeng, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita dan pejabat-pejabat yang sehari-hari nyaman di dalam mobil mewah ber-AC, terpaksa harus menumpang ojek. "Biasanya ongkos ngojek paling mahal Rp 20 ribu," katanya.
Warto, yang ikut menjadi tukang ojek dadakan, kemarin mengatakan tidak ada tawar menawar ongkos ojek dengan calon penumpang. Namun menurut dia, selama mengantarkan penumpang tiga kali, tak ada penumpang yang membayar di bawah Rp 50 ribu. "Apalagi yang orang asing, saya dapat Rp 100 ribu. Teman saya juga dapat 100 ribu," ujarnya.
Jalan menuju Giribangun sebenarnya lumayan lebar. Namun di beberapa titik terdapat bekas longsoran yang membuat agak rawan. Bupati Karanganyar Rina Iriani sebelumnya mengatakan untuk mengantisipasi keruwetan lalu lintas, pihaknya sudah menyediakan puluhan mobil dinas yang akan mengangkut tamu. "Tamu-tamu yang dari bandara diangkut bus nanti transit di lapangan Karangbangun yang menjadi tempat parkirnya," kata dia.
Namun, cara itu ternyata tidak efektif. Meski mobil dinas yang disiapkan itu nyaris tak pernah berhenti, namun banyaknya tamu yang membawa sendiri, ditambah dengan ribuan kehadiran warga umum yang berjubel di sepanjang jalan sempit itu, membuat kemacetan pun tak terhindarkan. Satu-satunya alternatif hanyalah sepeda motor. "Bayarannya memang gede, tapi baliknya juga harus muter-muter, jadi ndak bisa dapat penumpang banyak," kata Warto.
Tapi para tukang ojek ini pun hanya bisa mengantar para tamu penting hingga di areal parkir B, yang masih berjarak sekitar 300 meter dari tempat pemakaman. Para pejabat negara itu pun terpaksa masih harus melanjutkan jalan kaki. Mereka melepas jas, karena keringat mengalir di raut wajah para menteri. Mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas bahkan terlihat dipapah oleh dua ajudannya, begitu selesai menaiki anak tangga ke Giribangun.
Keramaian itu memang hanya sesaat. Namun mereka mengaku mendapatkan rejeki yang lebih di hari yang oleh pemerintah dinyatakan sebagai hari berkabung nasional. Sudah lama Giribangun tak ramai dikunjungi peziarah. Dulu, setelah Siti Hartinah (Tien Soeharto) meninggal dan Soeharto masih berkuasa, Astana Giribangun tidak ubahnya tempat wisata. Setiap hari, apalagi di hari libur, tukang ojek dan juga penjaja makanan selalu ketiban rejeki.
Menurut Surioso, warga desa Karangbangun, Matesih, ongkos ojek dari pintu bawah ke areal parkir paling atas Rp 5.000. Jaraknya sebenarnya tidak sampai 1 kilometer, namun karena tanjakannya sangat curam, membuat orang pun enggan untuk jalan kaki. Padahal, pengelola melarang kendaraan pribadi ke atas kecuali tamu penting atau kerabat.
Source
Silahkan Beri Komentar Anda Mengenai Berita/Artikel Ini.
Labels: News, Potret Kehidupan
0 comments:
Post a Comment