Tuesday, January 29, 2008
Jakarta: Pengamat pers Veven SP Wardhana menilai media massa baik elektronik maupun cetak berlebihan dalam memberitakan kematian bekas presiden Soeharto. “Tak proporsional dan tidak obyektif,” katanya kepada Tempo di Jakarta kemarin.
Menurut dia, pers melakukan mistifikasi atas kematian Soeharto dimulai ketika penguasa Orde Baru ini dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Pemberitaan secara umum seragam dan banyak puja puji. Kalaupun berusaha seimbang, sangat sedikit porsinya. “Apalagi televisi, lebih banyak menutup kesalahan dan dosa-dosa Soeharto."
Veven menanggapi porsi dan materi pemberitaan pers seputar kematian Soeharto pada Ahad siang lalu. Ia menuturkan, pemberitaan hampir di seluruh jam tayang televisi dan radio membuat masyarakat tak bisa mendapat informasi reguler yang lain.
"TV dan radio mendominasi ruang publik, apalagi pembawa acaranya juga ahistoris dan apolitis. Terutama di radio-radio yang dikelola anak-anak muda," ujar Veven.
Seharusnya media menyajikan informasi tentang Soeharto dengan proporsional, seperti menampilkan korban kejahatan semasa Soeharto hidup dan kasus korupsi yang belum tuntas. Veven yakin pers memang memilih untuk bersikap lain. "Harus dilacak apakah by design?”
Ia pun mengkritik mayoritas media cetak yang memberikan porsi berlebihan dengan berlembar-lembar halaman khusus. Penyebutan “Pak Harto” dinilai janggal karena tak ada yang menyebut “Pak Kalla, “Pak Yudhoyono”, atau “Bu Megawati.” “Malah ada yang menyebut embel-embel lengkap Haji Muhammad segala," ucapnya.
Pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Effendi Gazali khawatir kondisi ini ditunggangi kemunculan semangat Orde Baru. Penegakkan hukum terhadap keluarga dan kroni Cendana bisa mentok. Ini terjadi lantaran elite pers dan politik nasional belum lepas dari pengaruh Soeharto.
“Bayangkan, sekarang semua mengaku di media dekat dengan keluarga Soeharto,” katanya. Padahal kematian Soeharto bisa dimanfaatkan untuk penegakkan hukum, seperti yang terjadi di Chili ketika diktator Jenderal Augusto Pinochet mati.
Pengaruh Soeharto juga tecermin pada pemberitaan pers tentang situasi setelah reformasi. Lalu muncul penilaian kondisi jaman Soeharto lebih baik, misalnya harga beras sekarang lebih mahal. Tapi pers tak memberitakan, situasi sekarang akibat kepemimpinan Seoharto selama 32 tahun. “Masyarakat berpikir sederhana saja, bukan wacana.”
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Saldi Isra, pesimistis pengusutan kasus perdata Soeharto berlanjut meski bisa dialihkan kepada ahli warisnya. Pemberitaan sebagian besar pers menyeret simpati untuk Soeharto. "Terlalu over dosis.”
Peraih Bung Hatta Anti Corruption Award 2004 ini pun memilih tak menaikkan bendera setengah tiang sesuai imbauan pemerintah. “Saya tak merasa ada ikatan kuat dengan yang meninggal,” ucap Saldi di kantornya kemarin.
Source
Silahkan Beri Komentar Anda Mengenai Berita/Artikel Ini.
Labels: News, Sosial Politik
0 comments:
Post a Comment